Tak dapat dimungkiri, perubahan lebih
mudah diucapkan daripada dilakukan. Dari ketika dijalankan, Anda bukan hanya
berhadapan dengan kaum resisten, melainkan juga mereka yang bakal kalah pamor. Ya,
kalau Anda gigih dan berhasil menaklukkan resistensi, maka akan ada
kelompok-kelompok lain yang menjadi terlihat “tidak bekerja”, “asal bunyi”,
atau “provokator”. Seperti kata George Carlin, mereka menggenggam ayat yang
bunyinya begini, “Jika engkau tak bisa menaklukkannya, buatlah orang lain
membencinya.” Mereka berkampanye agar tidak percaya pada apa yang mereka lihat.
Jadi inti dari perubahan sebenarnya:
Mendapatkan kepercayaan. Obat resistensi itu, pertama-tama, adalah kepercayaan.
Jujur dan berani adalah satu hal. Tetapi, ini tidak cukup bila pemimpin gagal
memberikan hope melalui
kemenangan-kemenangan kecil pada tahun pertamanya. Diperlukan pendekatan khusus
untuk mendapatkan kepercayaan. Sebab, provokator juga hanya "mati" di
tangan mereka yang sangat dipercaya publik.
Mengubah resistensi itu sendiri ibarat
membuka hati manusia yang terluka. Kita tak bisa “menjebol batin” mereka yang
terluka untuk membersihkan nanah-nanahnya, kecuali mereka mengizinkannya. Nah,
"minta izin membuka hati" ini ada caranya: terlalu lembut tidak
tembus, kekerasan hanya membuat mereka jatuh ke tangan para penyamun.
Demikian juga dalam merespons para
penyamun yang menghalangi perubahan, selalu ada psikologinya. Nan S Russel,
dalam Psychology Today (2012), memberikan tipsnya: tetap respek, hindari
komunikasi membalas dengan menyalahkan, sadar diri, jauhkan arogansi, jaga
kehormatan dan go beyond yourself
(utamakan kontribusi pada publik).
Diplomasi
Makan Malam
Jauh sebelum Jokowi memimpin Jakarta,
saya pernah diberitahu pendekatan yang digunakan masyarakat Tionghoa dalam
mengatasi berbagai masalah. Semua urusan bisa diselesaikan di meja makan. Dan
kalau perut sudah disentuh, hati manusia akan adem. Tetapi, di Tokyo, ternyata
juga sama. Bahkan, pekerja-pekerja Jepang hingga larut malam masih menjinjing
tas kerja dan jas hitamnya bersama atasan mereka di bar-bar di sepanjang daerah
Ginza atau Shinjuku. Dalam ocehan yang terucap, mereka mengatakan, “Kita
menanggung sama-sama.”
Saat diserang calo tanah dan warga yang
tak mau pindah ke rumah susun yang telah disediakan (dari area waduk Ria-Rio),
kita membaca, Jokowi ternyata juga melakukan cara yang sama. Prosesnya begitu
cepat. Bahkan jauh lebih cepat dari yang ia lakukan di Solo saat memindahkan
PKL dari tengah kota.
“Saat itu saya ajak PKL makan siang dan
makan malam 54 kali,” ujarnya. “Setelah itu baru saya sampaikan bahwa mereka
akan dipindah. Dan mereka diam semua. Saya katakan, kalau begitu setuju ya...
dan mereka menjawab, 'Iya, Pak...'."
Ia memberikan refleksinya sebagai
berikut:
Pertama, PKL adalah businessman, sama seperti yang lainnya. Mereka itu pasti berhitung
untung ruginya.
Kedua, pada awalnya, setiap diundang
makan malam ke Balaikota mereka tahu bahwa mereka akan digusur, karena itulah
mereka datang dengan LSM dan advokat-advokat. "Karena itu, saya tak bicara
apa-apa, saya hanya mengajak mereka makan malam meski mereka kecewa tak ada
omong-omong," ujarnya.
Ketiga, mereka khawatir, di lokasi baru
bisnis mereka akan rugi atau diperlakukan tidak adil.
Di Jakarta, saat menghadapi warga-warga
yang tinggal di bawah waduk Ria Rio, Jokowi mengatakan, “Saya tak ingin
berhadap-hadapan dengan rakyat, rakyat tak boleh ditindas.” Itu sebabnya, ia
memilih melayani mereka di meja makan, dan mereka pulang dengan enteng. Jokowi
benar, jika perubahan membutuhkan koalisi perubahan, maka berkoalisilah dengan
rakyat.
Diplomasi
Sentuhan
Blusukan adalah satu hal, tetapi di
balik branding Jokowi itu ada diplomasi sentuhan yang luput dari perhatian para
elite. Jangan lupa setelah Gen C (connected
generation), kita tengah menghadapi Gen T (touch generation).
Bila mesin saja baru terlihat smart
kalau disentuh, apalagi hati manusia. Rakyat yang selalu menjadi korban dalam
perubahan, merindukan pemimpin-pemimpin yang tak berjarak, yang bisa mereka
sentuh. Saya ingin menceritakan kejadian ini.
Suatu ketika Fadel Muhammad bercerita
saat ia menemani kandidat cagub DKI dari Partai Golkar yang datang ke sebuah
masjid di daerah Kwitang dengan kawalan voorijder. Pedagang di jalan harus
minggir, dan cagub tersebut bertemu Habib sebentar, lalu pergi. Setelah itu
datanglah cagub incumbent. Kali ini bukan hanya voorijder, melainkan juga
camat, lurah, dan hansip sehingga semua PKL tak bisa berjualan. Jalan raya
tiba-tiba berubah menjadi lengang dan benar-benar bersih.
Lantas bagaimana saat Jokowi datang? Ia
datang tanpa pengawal, menyalami pedagang dan peziarah di sepanjang jalan
sehingga agak lama baru sampai di pelataran masjid. Peziarah terkesima karena
Jokowi sama seperti mereka, berpakaian seperti rakyat biasa, tak berjarak.
Pemimpin yang tak berjarak menyentuh tangan dan pundak rakyatnya, sedangkan
pemimpin yang berjarak justru menghindarinya. Bagi mereka, blusukan hanyalah
pencitraan, bukan sentuhan hati. Padahal, di situ ada pertautan kepercayaan.
Jadi, kepercayaanlah dasar dari setiap
karya perubahan. Dan, pemimpin yang pandai akan memisahkan ilalang dari
padi-padi yang harus dipelihara agar menghasilkan buah. Inilah tugas penting
para pembuat perubahan di tengah-tengah low
trust atau bahkan a distrust society.
Maka, daripada menjegal Jokowi, mengapa
tidak bergabung saja dan salami dia sebagai role
model. Kalau Anda cinta perubahan, orang-orang seperti ini justru harus
diberi apresiasi. Seperti kata Jim Henson, "If you cannot beat them, joint
them."
Oleh: Rhenald Senin Kasali
Sumber: Kompas online,
28 Oktober 2013 | 11:22 WIB
Komentar
Posting Komentar